PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan
isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi
sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun
demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga
bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur
hak dan kewajiban suami isteri masing-masing serta hal-hal yang berkaitan
dengan harta benda dalam perkawinan agar tidak terjadi perselisihan antara
keduanya mengenai hasil yang mereka dapat selama perkawinan. Apabila hal itu
terpenuhi maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat
terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI SERTA PERIHAL HARTA BENDA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA
A. Hak Dan Kewajiban Suami
Isteri Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
Masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam
Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai
dengan pasal 84. Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan :”Suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77 ayat (1) berbunyi : “Suami istri mempunyai kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
(1)
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup dalam masyarakat.
(2)
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
(3)
Suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga.
Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam Bagian Kedua
tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
Selanjutnya pasal 32 UU Perkawinan menegaskan :
(1)
Suami isteri harus mempunyai
tempat kediaman yang tetap.
(2)
Rumah tempat kediaman yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Isi pasal 32 UU Perkawinan tersebut, dalam Kompilasi dituangkan dalam pasal 78.
Dalam pasal 33 UU Perkawinan menegaskan,”sumai isteri wajib saling
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain”. Dalam Kompilasi diatur dalam pasal 77 ayat (2). Selanjutnya ayat (3), (4), dan (5)
berturut-turut dikutip dibawah ini :
Suami
isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya.
Suami
isteri wajib memelihara kehormatannya.
Jika
suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 34 UU Perkawinan menegaskan :
(1)
Suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2)
Isteri wajib mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya.
Adapun ayat (3) isi dan bunyinya sama dengan ayat (5)
pasal 77 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami isteri
dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal
ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17
tahun sejak Undang-Undang Perkawinan dikeluarkan. Sementara dalam Undang-Undang
Perkawinan pengaturan hak suami dan isteri lebih bersifat umum. Dibawah ini
akan dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 79 :
(1)
Suami adalah kepala keluarga, dan
isteri ibu rumah tangga.
(2)
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
dalam masyarakat.
(3)
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap
isteri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut :
(1)
Suami adalah pembimbing terhadap
isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangganya
yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2)
Suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3)
Suami wajib memberi pendidikan
agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4)
Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung :
a.
nafkah, kiswah, dan tempat
kediaman bagi isteri.
b.
biaya rumah tangga, biaya
perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c.
biaya pendidikan bagi anak.
(5)
Kewajiban suami terhadap isterinya
seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6)
Isterinya dapat membebaskan
suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b.
(7)
Kewajiban suami sebagaimana
dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat
kediaman, Kompilasi mengaturnya tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut :
(1)
Suami wajib menyediakan tempat
kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)
Tempat kediaman adalah tempat
tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam
iddah talak atau iddah wafat.
(3)
Tempat kediaman disedeiakan untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan dari pihak lain, sehingga
mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat
menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
(4)
Suami wajib melengkapi tempat
kediaman sesuai dengan kemampuan serta sesuai dengan keadaan lingkungan tempat
tinggalnya, bai berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
Adapun kewajiban isteri yang dalam UU Perkawinan pasa 34
diatur secara garis besar pada ayat (2), dalam Kompilasi diatur secara lebih
rinci dalam pasal 83 dan 84.
Pasal 83 :
(1)
Kewajiban utama bagi seorang
isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam.
(2)
Isteri menyelenggarakan dan
mengatur keperluam rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 :
(1)
Isteri dapat dianggap nusyuz jika
ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal
83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)
Selama isteri dalam keadaan
nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4)
huruf a dan b tidak brlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)
Kewajiban suami tersebut pada ayat
(2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(4)
Ketentuan tentang ada atau tidak
adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Mengenai teknis penyelesaian yang harus ditempuh si
suami manakala isterinya nusyuz, dijelaskan dalam surah al-Nisa’, 4 : 34 yaitu
:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم
على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله
واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا
عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا.
Artinya :
Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Nisa’ 4 : 43)
Penjelasan
tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, isteri
yang nusyuz tersebut dinasihati secara baik-baik. Tentu saja dalam hal ini
menuntut kearifan suami, sekaligus mawas diri, bagaimana sesungguhnya si isteri
sampai nusyuz. Kedewasaan sikap dan pikir suami, sangat dibutuhkan dalam
penyelesaian nusyuz tersebut.
Kedua, dengan
cara pisah tidur. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada isteri untuk
memikirkan tindakannya, apakah nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan.
Dan yang lebih penting adalah agar si isteri mengubah sikapnya dan kembali
bergaul secara baik kepada suaminya.
Ketiga, apabila
dua cara tersebut telah ditempuh suami ternyata belum membuahkan hasil, maka
cara yang terakhir adalah dengan memberi pelajaran kepada si isteri, yang dalam
bahasa al-Quran di sebut “memukul”. Batasan yang perlu diketahui suami dalam
langkah ketiga ini, adalah memberi pelajaran yang tidak sampai mengakibatkan
penderitaan isteri.
B. Harta Benda Dalam Hukum Perkawinan
Di Indonesia
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda
dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal. Selengkapnya akan dikutip
berikut ini :
Pasal 35 :
(1)
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
(2)
Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta
yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri-sndiri selama masa ikatan
perkawinan.[1]Dalam konteks
konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencarian suami, sedangkan
isteri sebagai rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen
ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian lebih luas, sejalan dengan tuntutan
perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan
kekayaan.
Dalam kenyataannya, masih lebih banyak pola yang pertama
dalam kehidupan perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan perkerjaan, dan
isteri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya, bekerja, tidak
selalu diartikan berkerja diluar rumah. Demikianlah yang dimaksud pasal 35 ayat
(1). Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara
warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini
sejalan dengan firman Allah SWT :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض
للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن واسألوا الله من فضله إن الله
كان بكل شيء عليما.
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Nisa’ 4 : 32)
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih
lanjut dalam Kompilasi pasal 85, 86 dan 87. Secara berurutan akan di kutip di
sini :
Pasal 85 :
Adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 :
(1)
Pada dasarnya tidak ada
pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2)
Harta isteri tetap menjadi hak
isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87 :
(1)
Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah pengusaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menetukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)
Suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa
hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.
Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri, diatur dalam
pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut : “Mengenai harta bersama suami
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapun ayat (2) : “ Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dan mengenai kewenangan
penyelesaian sengketa harta bersama
diatur dalam pasal 37 UU Perkawinan sebagai berikut : “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang
dimaksud “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya.
Pengaturan lebih rinci masalah ini, Kompilasi mengatur
dalam pasal 88, 89 dan 90.
Pasal 88 :
Apabila
terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 :
Suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :
Isteri
turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada
padanya.
Pengaturan tentang bentuk harta bersama dijelaskan dalam
pasal 93 Kompilasi :
(1)
Harta bersama sebegaimana tersebut
dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)
Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)
Harta bersama yang tidak berwujud
dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)
Harta bersama dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Penjelasan pasal 93 tersebut menunjukkan adanya nuansa
modern, seperti surat-surat berharga (polis, saham, dan lain-lain). Dengan
demikian pengertian harta bersama mejadi sangat luas, tidak hanya barang-barang
yang secara material langsung dapat dikonsumsi. Apabila harta bersama tersebut
digunakan salah satu pihak, tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka tindakan
hukum demikian tidak diperbolehkan.”Suami atau isteri tapa persetujuan pihak
lain tidak diperbolehkan menjual atau memindah harta bersama” (ps. 92 KHI). Hal
ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat melakukan hal-hal yang berurusan
dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tanpa adanya persetujuan
tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan besar sekali. Oleh karena itu
Kompilasi dalam pasal berikut, membicarakan pertanggungjawaban utang yang
bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan keluarga.
Pasal 93 :
(1)
Pertanggungjawaban terhadap utang
suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)
Pertanggungjawaban terhadap utang
yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3)
Bila harta bersama tidak
mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4)
Bila harta suami tidak ada atau
tidak mecukupi dibebankan kepada harta isteri.
Dalam kaitannya dengan perkawinan poligami, Kompilasi
mengaturnya dalam pasal 94 :
(1)
Harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah
dan berdiri sendiri.
(2)
Pemilikan harta bersama dari
perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebh dari seorang sebagaimana
tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,
ketiga, atau keempat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan
atau keempat tidak terjadi perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan
gugat warisan di antara masing-masing keluarga dari isteri-isteri tersebut.
Dalam pasal 95 Kompilasi dibicarakan tentang
tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu pihak melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti : judi, mabok, boros, dan
lain-lain.
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan
pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nho. 9 Tahun 1975 dan pasal 136
(2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanp adanya permohonan gugat cerai, pabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti
: judi, mabok, boros, dan sebagainya.
(2)
Selama masa sita dapat dilakukan
penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan
Agama.
Mengenai pembagian harta bersama Kompilasi mengaturnya
dalam pasal 96 dan pasal 97, sebagai berikut :
Pasal 96 :
(1)
Apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)
Pembagian harta bersama bagi
seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 :
Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan
:”Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77
ayat (1) berbunyi : Suami istri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat”. Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
: (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri
ibu rumah tangga. Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam
Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
2.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam
judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal yaitu pasal
35, 36 dan 37. Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur lebih rinci diantaranya
terdapat dalam pasal 85, 86, 87, dan seterusnya sampai dengan pasal 97 tentang
perihal harta benda dalam perkawinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.
Drs. H. Abdul Manan, S.H, S.IP., H.Hum. Drs. M. Fauzan, S.H. Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta UI Press, Cet. V, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar