Kamis, 13 Oktober 2011

WAKAF DALAM ISLAM


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Wakaf bukanlah sesuatu yang asing bagi umat Islam karena eksistensinya bisa dikatakan hampir bersamaan dengan eksistensi Islam dan umat Islam itu sendiri. Masih segar dalam ingatan umat Islam, bahwa ketika Rasulullah, pembawa risalah Islam, berhijrah dari Makkah menuju Madinah dan sesampainya di Madinah beliau memperkenalkan wakaf kepada kaum Muslimin, di mana pada masa itu kaum asli Madinah yang bernama kaum Najja mendapatkan tawaran dari Rasulullah, untuk mewakafkan tanahnya karena ketika itu beliau memerlukan tanah untuk pembangunan masjid. Baliau mengatakan:”Wahai Bani Najja, maukah kalian menjual kebun kalian ini?” Mereka menjawab:”(Ya!, tapi), demi Allah, kami tidak akan meminta harganya, kecuali mengharapkan pahala dari Allah.” Kemudian beliau mengambilnya, lalu membangun masjid di atasnya.” Dari sinilah, lalu menjadi tradisi umat Islam mewakafkan tanah-tanah miliknya untuk keperluan pembangunan masjid dan kepentingan umum lainnya. Selama ini sebagian umat Islam telah terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) seperti tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap seperti tanah dari pada benda lainnya yang bergerak. Keafdholan tersebut ditopang atas alasan antara lain, karena yang dicontohkan Rasulullah adalah wakaf tanah dan karena tanah merupakan harta benda yang bisa dibilang kekal sifatnya atau tidak gampang musnah, meskipun bisa musnah. Sedang untuk wakaf berupa benda lainnya tidaklah seperti demikian keadannya. Namun pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak saja benda tetap (tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Di antara benda yang bergerak yang dapat diwakafkan adalah wakaf tunai (wakaf uang).

WAKAF DALAM ISLAM

A.  Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu waqf yang berarti menahan, menghentikan atau mengekang. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya dan digunakan untuk kebaikan.[1] Atau menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
Menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan tanah milik, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Definisi hampir sama diberikan oleh Kompilasi Hukum Islam, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Sementara pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Di Indonesia yang menjadi dasar pokok dalam mengatur hal perwakafan adalah dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

B.  Unsur Dan Syarat Wakaf
Dalam Fiqih Islam dikenal ada empat rukun atau unsur wakaf, yaitu :
1.      Orang yang berwakaf (wakif)
2.      Benda yang diwakafkan
3.      Penerima wakaf
4.      Lafaz pernyataan penyerahan wakaf
Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia adalah orang yang ahli berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara suka rela, tidak karena terpaksa.[2] Seperti juga disyaratkan bagi penjual dan pembeli, maka yang dimaksud dengan “ahli berbuat baik” di sini ialah orang yang berakal (tidak gila atau bodoh), tidak mubazir (karena harta orang mubazir di bawah walinya}, dan balig.[3]
Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan beberapa syarat sebagai berikut :
a.       Barang atau benda itu tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
b.      Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan dan disewakan.[4]
c.       Bukan barang haram atau najis.[5]
Sedangkan untuk orang atau pihak yang menerima wakaf (maukuf alaih) berlaku beberapa ketentuan yaitu :
Orang yang ahli memiliki, [6] seperti syarat bagi orang yang berwakaf (wakif). Artinya ia berakal (tidak gila), balig, tidak mubazir (boros). Hendaklah diterangkan dengan jelas kepada suatu benda diwakafkan. Orang tersebut harus sudah ada pada waktu terjadi wakaf.
Karena itu tidak sah mewakafkan satu benda untuk anak yang belum lahir.[7] Dan tidak sah wakaf kalau seseorang misalnya berkata “saya wakafkan rumah ini”, karena tidak terang kepada siapa diwakafkannya.[8]
Lafaz atau sigat ialah pernyataan kehendak dari wakif yang dilahirkan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Kalau penerima wakaf adalah pihak tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu ada qabul (jawaban penerima). Tapi kalau wakaf itu untuk umum saja, tidak harus ada qabul.[9]
Beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wakaf, di antaranya adalah :
  1. Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam. Oleh karena itu mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah agama lain, tidak sah. Tapi kalau misalnya mewakafkan tanah untuk dijadikan jalanan umum yang akan dilalui orang Islam dan non Islam, tidak mengapa.[10]
  2. Jangan memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan.[11]
  3. Tidak mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah yang menimbulkan fitnah.[12]
Barang siapa yang mewakafkan sesuatu yang dapat memberi mudarat kepada warisnya, maka wakafnya menjadi batal, karena Allah Swt. tidak mengizinkan hal seperti itu. Dan semua wakaf yang dimaksud untuk menghentikan perintah Allah dan menghasilkan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban-kewajiban dari Allah azza wa jalla, maka wasiat itu batal.[13]
  1. Kalau wakaf diberikan melaui wasiat, yaitu baru telaksana setelah si wakif meninggal dunia, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3 sebagian jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.[14]
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2004 yang mengatur tentang perwakafan, yang mana terdapat didalamnya enam unsur dalam wakaf yang tedapat dalam pasal 6 UU No. 41 Tahun 2004 yaitu :
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :
  1. Wakif;
  2. Nazhir;
  3. Harta Benda Wakaf;
  4. Ikrar Wakaf;
  5. peruntukan harta benda wakaf;
  6.  jangka waktu wakaf.
Sedangkan mengenai harta benda yang diperbolehkan dalam peraturan pemerintah terdapat dalam pasal 15 dan pasal 16 UU No. 41 Tahun 2004, yakni :
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara sah.
Pasal 16
(1)   Harta benda wakaf terdiri dari:
a.       Benda tidak bergerak; dan
b.      Benda bergerak
(2)   Benda tidak bergerak meliputi:
a.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b.      Bangunan atau bagian yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
(3)   Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikosumsi, meliputi:
a.       Uang;
b.      Logam mulia.
c.       Surat berharga.
d.      Kendaraan.
e.       Hak atas kekayaan intelektual.
f.       Hak sewa; dan.
g.      Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai hal peruntukan harta benda wakaf dijelaskan dalam UU No. 41 Tahun 2004, pasal 22 dan pasal 23 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa :
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :
  1. sarana dan kegiatan ibadah;
  2.  sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
  3. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
  4. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
  5. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1)   Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
(2)   Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

C.  Wakaf Tunai Dalam Perspektif Fikih (Hukum Islam) Dan Hukum Positif
Berbeda dengan wakaf benda tidak bergerak, tampaknya wakaf uang tidak diperbincangkan secara luas di dalam kitab-kitab fikih klasik. Hal ini bisa dipahami, wakaf uang di dalam fikih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Bagi yang menolak wakaf uang, tidak mungkin mereka membahas wakaf uang. Sedangkan bagi yang membolehkan, juga tidak mungkin membahasnya lebih luas,karena informasi wakaf uang sangat terbatas. Bahkan tidak ada satu ayat dan hadispun yang bicara tentang wakaf uang. Dengan menggunakan tinjauan sosiologis, bisa dipahami karena fikih wakaf dirumuskan pada masyarakat agraris, bukan pada masyarakatindustriataujasa.
 Di samping itu, contoh yang sering dirujuk ketika menjelaskan tentang wakafa dalah prilaku Umar r.a dengan tanah khaibarnya. Lengkaplah sudah bahwa wakaf hanya benda yang tidak bergerak, yang abadi dan tidak sirna.
Selanjutnya, akibat tidak dibicarakannya wakaf uang pada masa-masa awal
Islam, umat Islam pun akhirnya terlambat mengenal jenis wakaf ini. Sebagaimana dijelaskan di dalam kitab-kitab fikih, Syafi’I ternyata tidak membolehkan wakaf uang. Alasannya adalah dinar dan dirham itu wujudnya akan lenyap ketika dibayarkan. Padahal yang dimaksud wakaf dalam mazhab Syafi`i adalah bendanya harus tetap dan tidak boleh lenyap (baqa’‘ainih).
Lebih jelas dalam mazhab Syafi`i, wakaf didefinisikan sebagai “penahanan
(pencegahan) harta yang mungkin dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya…”.
Jadi kata kunci dari wakaf terletak pada pemanfaatan benda wakaf secara terus menerus tanpa harus kehilangan (habis) bendanya. Wakaf uang tentu tidak masuk dalam definisi ini. Berbeda dengan mazhab Syafi`i di atas, mazhab Hanafi cenderung membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) dengan cara uang tersebut harus dijadikan sebagai modal usaha apakah dengan cara mudharabah (bagihasil) dan menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun penting di catat, pendapatM azhab Hanafi ini bagaimanapun majunya, tidak begitu dikenal dalam masyarakat Islam Indonesia. Penyebutan bahwa Imam Hanafi membolehkan wakaf uang (dinar dan dirham) tidak diperoleh langsung dari kitab-kitabnya Hanafi, melainkan berdasarkan beberapa qaul yang disandarkan kepada Imam Hanafi. Untuk itulah banyak pakar wakaf yang tidak
mendasarkan pendapatnya mengenai wakaf uang ini kepada Imam Hanafi.
Beberapa referensi meyebutkan bahwa Muhammad Ibn Abdullah Al-Anshari
murid Zufar (sahabatnya Abu Hanifah) disebut-sebut sebagai ulama yang
membolehkan wakaf dalam bentuk uang kontan; dinar dan dirham, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar seperti (makanan dan gandum). Ada juga pakar wakaf yang mendasarkan kebolehan wakaf uang ini kepada
Imam Az-Zuhri sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yasir Nasution yang
menyatakan, Boleh jadi untuk menghindari keterpakuan kita kepada pemahaman yangsempitseperti itu, Imam az-Zuhri memberikan fatwa membolehkan mewakafkan dinar atau dirham sebagai modal usaha. Wakaf uang tersebut diinvestasikan atau diputar oleh nazhir dan keuntungannya dikelola untuk orang-orang miskin. Pada zaman pemerintahan Dinasti Usmani di Turki wakaf uang tunai itu telah berjalan untuk pembiayaan dan perawatan asset wakaf. Sekarang, banyak lembaga-lembaga sosial ummat yang menangani pendidikan, pelatihan, dan da’wah mengelola wakaf dalam bentuk uang tunai.
Pengembangan wakaf dalam bentuk tunai sudah dilakukan sejak lama. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[15]
Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai berikut :
  1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
  2.  Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
  3. Waqaf  uang hukumnya jawaz (boleh)
  4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf tunai harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Kebolehan wakaf tunai, menurut MUI, tidak bertentangan dengan definisi wakaf yang telah dirumuskan oleh mayoritas ulama dengan merujuk kepada hadits-hadits tentang wakaf. MUI mengambil rumusan definisi wakaf sbb :
 “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan mewariskan), untuk disalurkan hasilnya pada sesuatu yang mubah( tidak haram) yang ada.
Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai. Wakaf tunai merupakan produk hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Pasal 16 Undang-Udnang tersebut, menyatakan bahwa:
Harta benda wakaf terdiri dari:
a.       Benda tidak bergerak; dan
b.      Benda bergerak
Benda tidak bergerak meliputi:
a.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b.      Bangunan atau bagian yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikosumsi, meliputi:
a.       Uang;
b.      Logam mulia.
c.       Surat berharga.
d.      Kendaraan.
e.       Hak atas kekayaan intelektual.
f.       Hak sewa; dan.
g.      Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari bunyi pasal di atas, diperoleh kesimpulan tentang wakaf tunai, adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
Dalam pasal UU No 41/2004 tentang Wakaf, masalah wakaf tunai disebutkan pada empat pasal, (pasal 28,29,30,31), bahkan wakaf tunai secara khusus dibahas pada bagian kesepuluh Undang-Undang tersebut dengan titel “Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang”.
Pasal 28 Undang-Undang Wakaf berbunyi sebagai berikut :
“Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.”
Dari pasal 28 dapat ditarik tiga kesimpulan penting :
  1. Legalitas wakaf tunai sangat jelas dan tidak perlu diperselisihkan lagi.
  2. Pengelolaan wakaf uang melalui lembaga keuangan syari’ah.
  3.  LKS ditunjuk oleh Menteri
Penunjukkan lembaga keuangan syariah sebagai media pengembangan wakaf uang karena lembaga keuangan, dikarenakan :
  1. Kemampuan lembaga keuangan syariah melakukan investasi dana waqaf.
Investasi dilakukan dengan pertimbangan keamanan & tingkat profitabilitas usaha, dengan melakukan. Pertama, analisa sektor investasi yang belum jenuh, dengan melakukan “spreading risk” dan “risk management” terhadap investasi yang akan dilakukan Kedua, “Market survey” untuk memastikan jaminan pasar dari output/produk investasi, Ketiga, analisa kelayakan investasi, Keempat, penentuan pihak yang akan bekerjasama untuk mengelola investasi. Kelima, monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan keenam, monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi tersebut.
  1. Kemampuan melakukan administrasi rekening beneficiary.
Hal ini membutuhkan teknologi & kemampuan SDM yang handal.Kemampuan ini dimiliki oleh bank, yang memang “nature” bisnisnya adalah mengelola rekening- rekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai untuk menampung banyak data base beneficiary
  1. Kemampuan melakukan distribusi hasil investasi dana.
Bank syariah mempunyai sistem “profit distribution”, baik dengan konsep “pool of fund” maupun “special investment” (Mudharabah Muqayaddah). Benefit dana waqaf jika diijinkan oleh waqif dapat digunakan misalnya, sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah.
  1. Mempunyai kredibilitas di mata masyarakat, dan dikontrol oleh hukum/regulasi yang ketat serta diawasi oleh Bank Indonesia atau Departemen Keuangan
Bank atau LKS lainnya yang profesional merupakan lembaga kepercayaan masyarakat. Bank merupakan lembaga yang “high regulated”, BI menjamin deposit masyarakat termasuk deposit waqaf. Bank syariah merupakan lembaga yang “syariah high regulated”, di mana DSN dan DPS memantau kecukupan aspek syariah atas operasional dan produk bank syariah
  1. Kemampuan melakukan investasi dana waqaf
Tipe Investasi :
a.       Investasi Jangka Pendek : yaitu dalam bentuk “micro credit”. (Pengalaman Bank Islam dalam menyalurkan kredit mikro, seperti UMKM sudah teruji.
b.      Investasi Jangka Menengah : yaitu untuk industri/usaha kecil (Pengalaman bank dengan KKPA, KKOP dan KUK)
c.        Investasi Jangka Panjang : yaitu untuk industri manufaktur industri besar lainnya (Pengalaman bank dalam melakukan investasi jangka panjang seperti pabrik & perkebunan, serta pengalaman investasi/pembiayaan sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi besar)
Alasan-alasan itulah, mengapa wakaf tunai harus melalui Lembaga Keuangan Syariah. Selain lembaga perbankan, insitusi reksadana syariah juga bisa menjadi pengelola wakaf tunai asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Peranturan Pemerintah.
Selanjutnya, pasal 29 UU No 41/2004 menyebutkan:
1.      Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 dilaksanakan oleh wakif dengan pernyataan kehendak wakif yang dilakukan secara tertulis.
2.      Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
3.      Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada wakif dan nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Pasal 30.
Lembaga keuangan syariah atas nama nazhir mendaftarkan harta benda berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbutkannya Sertifikat Wakaf Uang.
Pasal 31.
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam pasal, 28, 29, 30 diatur dengan peraturan pemerintah.
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pelaksanaan UU No 41/2004 tentang Wakaf sampai saat ini belum dikeluarkan pemerintah. Namun demikian, kita dapat melihat Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut yang telah rampung dikerjakan oleh tim penyusun RPP Wakaf. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), masalah cash waqf diatur pada pasal 22, 23, 24, 26. Pasal-pasal ini berisi tentang teknis pelaksanaan wakaf uang.
Pasal 22 RPP Wakaf tersebut berbunyi :
  1. Wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah
  2.  Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
  3. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
    1. hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendak wakaf uangnya;
    2. menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan diwakafkan;
    3.  menyetorkan secara tunai sejumlah uang ke LKS-PWU;
    4. mengisi formulir pernyataan kehendak Wakif yang berfungsi sebagai akta ikrar wakaf.
4.      Dalam hal Wakif tidak dapat hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka Wakif dapat menunjuk wakil atau kuasanya.
5.      Wakif dapat menyatakan ikrar wakaf benda bergerak berupa uang kepada Nazhir di hadapan PPAIW yang selanjutnya Nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS.
Berdasarkan ayat 5 pasal 22, maka calon wakif yang mau berwakaf uang, dapat mendatangi nazhir dan menyatakan ikrar wakaf tersebut di hadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf). Setelah itu, nazhir menyerahkan akta ikrar wakaf tersebut kepada LKS.
Pasal 23
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
Pasal 24
1.      LKS yang ditunjuk oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atas dasar saran dan pertimbangan dari BWI.
2.       BWI memberikan saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mempertimbangkan saran instansi terkait.
3.      Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada LKS Penerima Wakaf Uang yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri;
b.       melampirkan anggaran dasar dan pengesahan sebagai badan hukum;
c.       memiliki kantor operasional di wilayah Republik Indonesia;
d.      bergerak di bidang keuangan syariah; dan
e.       memiliki fungsi menerima titipan (wadi’ah).
  1. BWI wajib memberikan pertimbangan kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah LKS memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Setelah menerima saran dan pertimbangan BWI sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja menunjuk LKS atau menolak permohonan dimaksud.
LKS Penerima Wakaf Uang bertugas:
  1. mengumumkan kepada publik atas keberadaannya sebagai LKS Penerima Wakaf Uang;
  2.  menyediakan blangko Sertifikat Wakaf Uang;
  3. menerima secara tunai wakaf uang dari Wakif atas nama Nazhir;
  4. menempatkan uang wakaf ke dalam rekening titipan (wadi’ah) atas nama Nazhir yang ditunjuk Wakif;
  5. menerima pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan secara tertulis dalam formulir pernyataan kehendak Wakif;
  6. menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang serta menyerahkan sertifikat tersebut kepada Wakif dan menyerahkan tembusan sertifikat kepada Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif; dan
  7. mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri atas nama Nazhir.
Pasal 26
Sertifikat Wakaf Uang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:
a.       nama LKS Penerima Wakaf Uang;
b.      nama Wakif;
c.       alamat Wakif;
d.      jumlah wakaf uang;
e.       peruntukan wakaf;
f.       jangka waktu wakaf;
g.      nama Nazhir yang dipilih; dan
h.      tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat Wakaf Uang;
Pasal 27
Dalam hal Wakif berkehendak melakukan perbuatan hukum wakaf uang untuk jangka waktu tertentu maka pada saat jangka waktu tersebut berakhir, Nazhir wajib mengembalikan jumlah pokok wakaf uang kepada Wakif atau ahli waris/penerus haknya melalui LKS Penerima Wakaf Uang.
Pasal ini menjelaskan kebolehan wakaf muaqqat dengan mengambil pendapat mazhab Maliki.
Dimasukkannya wakaf tunai dalam perundangan-undangan Republik Indonesia melalui Undang-Undang No 41 tahun 2004, merupakan angin segar dan peluang baru bagi umat Islam Indonesia untuk mengelola dan mengembangkan suatu potensi dana umat yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum muslimin dan melepaskan umat Islam dari kemiskinan. Bahkan dimungkin, wakaf tunai bisa menjadi jalan alternatif untuk melepas ketergantungan bangsa ini dari lembaga-lembaga kreditor multilateral sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini memilki prospek yang baik dan cerah serta akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia.
Positivisasi wakaf tunai melalui UU No. 41 tahun 2004 merupakan sarana rekayasa sosial (social engineering), untuk melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Dengan pengundangan itu juga tidak ada gunanya lagi memperbanyak wacana khilafiyah tentang. boleh tidaknya wakaf tunai. Menurut dasar pertimbangan Fatwa MUI tentang wakaf tunai disebutkan bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain.Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawsan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Oleh karena institusi wakaf tunai adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa.

 
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Wakaf termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan. Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf.
2.      Dalam Fiqih Islam dikenal ada empat rukun atau unsur wakaf, yaitu :
1.      Orang yang berwakaf (wakif)
2.      Benda yang diwakafkan
3.      Penerima wakaf
4.      Lafaz pernyataan penyerahan wakaf
Dalam pasal 6 UU No. 41 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :
a.       Wakif;
b.      Nazhir;
c.       Harta Benda Wakaf;
d.      Ikrar Wakaf;
e.       Peruntukan harta benda wakaf;
f.       Jangka waktu wakaf.
3.      Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai.




DAFTAR PUSTAKA

Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, {Beirut, Dar Ibn Hazm}, 1997.
H. Adijani Al-Alabii, Perwakapan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Kedua, 1992.
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Wijaya, Jakarta, 1954.
H. Abubakar, Sejarah Mesjid dan amal Ibadah Dalamnya, Fa. Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955.
Muhammad ibn Ismail Ash-Shan’aniy, Subulu-s Salam, Juz 3, Muhammad Ali Shabih, Mesir, (tanpa tahun.
Prof. Dr. T.M Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima, 1978.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta, cetakan Kedua, 1971.
Shidik Ibn Hasan Khan, Ar-Raudlatun Nadiyah, Syarh ad-Durarul Babiyyah, Juz 2, al-Muniriyah, Mesir, (tanpa tahun).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Yahoo! 360­­­­­­­0 Chihoksmell’s Blog  tentang Waqaf Dalam Perspektif Islam d
Agustianto Weblog tentang wakaf tunai dalam hukum positif dan prospek pemberdayaan ekonomi syari’ah oleh : Drs.Agustianto, M.Ag


 


[1] Muhammad ibn Ismail Ash-Shan’aniy, Subulu-s Salam, Juz 3, Muhammad Ali Shabih, Mesir, (tanpa tahun), hlm. 114.
[2] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Wijaya, Jakarta, 1954, hlm. 304-305.
[3] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, op. cit. hlm. 244.
[4] Prof. Dr. T.M Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Kelima, 1978, hlm. 179.
[5] H. Abubakar, Sejarah Mesjid dan amal Ibadah Dalamnya, Fa. Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955, hlm. 423.
[6] H. Sulaiman Rasyid, op.cit., hlm. 305
[7] H. Abubakar, loc.cit.,
[8] H. Sulaiman Rasyid, op.cit., hlm. 306
[9] H. Sulaiman Rasyid, op.cit., hlm. 305
[10] H. Abubakar, loc.cit.
[11] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta, cetakan Kedua, 1971, hlm. 272.
[12] Ibid.
[13] Shidik Ibn Hasan Khan, Ar-Raudlatun Nadiyah, Syarh ad-Durarul Babiyyah, Juz 2, al-Muniriyah, Mesir, (tanpa tahun), hlm. 160.
[14] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, op.cit., hlm. 273 dan 277.
[15] Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, {Beirut, Dar Ibn Hazm}, 1997, h. 20-21.