Selasa, 04 Oktober 2011

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI SERTA PERIHAL HARTA BENDA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perkawinan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian, karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perlu diatur hak dan kewajiban suami isteri masing-masing serta hal-hal yang berkaitan dengan harta benda dalam perkawinan agar tidak terjadi perselisihan antara keduanya mengenai hasil yang mereka dapat selama perkawinan. Apabila hal itu terpenuhi maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.



HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI SERTA PERIHAL HARTA BENDA DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A.  Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
Masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan pasal 84. Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan :”Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77 ayat (1)      berbunyi : “Suami istri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
(1)   Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
(2)   Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)   Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
Selanjutnya pasal 32 UU Perkawinan menegaskan :
(1)   Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)   Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Isi pasal 32 UU Perkawinan tersebut, dalam Kompilasi dituangkan dalam       pasal 78.
Dalam pasal 33 UU Perkawinan menegaskan,”sumai isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”. Dalam Kompilasi diatur dalam pasal 77 ayat  (2). Selanjutnya ayat (3), (4), dan (5) berturut-turut dikutip dibawah ini :
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 34 UU Perkawinan menegaskan :
(1)   Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)   Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Adapun ayat (3) isi dan bunyinya sama dengan ayat (5) pasal 77 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami isteri dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17 tahun sejak Undang-Undang Perkawinan dikeluarkan. Sementara dalam Undang-Undang Perkawinan pengaturan hak suami dan isteri lebih bersifat umum. Dibawah ini akan dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 79 :
(1)   Suami adalah kepala keluarga, dan isteri ibu rumah tangga.
(2)    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
(3)   Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap isteri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut :
(1)   Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangganya yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2)   Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)   Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4)   Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a.       nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri.
b.      biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
c.       biaya pendidikan bagi anak.
(5)   Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6)   Isterinya dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)   Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat kediaman, Kompilasi mengaturnya tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut :
(1)   Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)   Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)   Tempat kediaman disedeiakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan dari pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)   Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, bai berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Adapun kewajiban isteri yang dalam UU Perkawinan pasa 34 diatur secara garis besar pada ayat (2), dalam Kompilasi diatur secara lebih rinci dalam pasal 83 dan 84.
Pasal 83 :
(1)   Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
(2)   Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluam rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 :
(1)   Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2)   Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak brlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)   Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(4)   Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Mengenai teknis penyelesaian yang harus ditempuh si suami manakala isterinya nusyuz, dijelaskan dalam surah al-Nisa’, 4 : 34 yaitu :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا.
Artinya :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Nisa’ 4 : 43)

Penjelasan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, isteri yang nusyuz tersebut dinasihati secara baik-baik. Tentu saja dalam hal ini menuntut kearifan suami, sekaligus mawas diri, bagaimana sesungguhnya si isteri sampai nusyuz. Kedewasaan sikap dan pikir suami, sangat dibutuhkan dalam penyelesaian nusyuz tersebut.
Kedua,   dengan cara pisah tidur. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada isteri untuk memikirkan tindakannya, apakah nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan. Dan yang lebih penting adalah agar si isteri mengubah sikapnya dan kembali bergaul secara baik kepada suaminya.
Ketiga,   apabila dua cara tersebut telah ditempuh suami ternyata belum membuahkan hasil, maka cara yang terakhir adalah dengan memberi pelajaran kepada si isteri, yang dalam bahasa al-Quran di sebut “memukul”. Batasan yang perlu diketahui suami dalam langkah ketiga ini, adalah memberi pelajaran yang tidak sampai mengakibatkan penderitaan isteri.

B.  Harta Benda Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal. Selengkapnya akan dikutip berikut   ini :
Pasal 35 :
(1)   Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri-sndiri selama masa ikatan perkawinan.[1]Dalam konteks konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencarian suami, sedangkan isteri sebagai rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian lebih luas, sejalan dengan tuntutan perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan kekayaan.
Dalam kenyataannya, masih lebih banyak pola yang pertama dalam kehidupan perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan perkerjaan, dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya, bekerja, tidak selalu diartikan berkerja diluar rumah. Demikianlah yang dimaksud pasal 35 ayat (1). Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini sejalan dengan firman Allah SWT :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن واسألوا الله من فضله إن الله كان بكل شيء عليما.
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Nisa’ 4 : 32)

Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi pasal 85, 86 dan 87. Secara berurutan akan di kutip di sini :
Pasal 85 :
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 :
(1)   Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2)   Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87 :
(1)   Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengusaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)   Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.
Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri, diatur dalam pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut : “Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapun                           ayat (2) : “ Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dan mengenai kewenangan penyelesaian sengketa  harta bersama diatur dalam pasal 37 UU Perkawinan sebagai berikut : “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang dimaksud “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.
Pengaturan lebih rinci masalah ini, Kompilasi mengatur dalam pasal 88, 89 dan 90.
Pasal 88 :
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 :
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.
Pengaturan tentang bentuk harta bersama dijelaskan dalam pasal 93 Kompilasi :
(1)   Harta bersama sebegaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)   Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)   Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)   Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Penjelasan pasal 93 tersebut menunjukkan adanya nuansa modern, seperti surat-surat berharga (polis, saham, dan lain-lain). Dengan demikian pengertian harta bersama mejadi sangat luas, tidak hanya barang-barang yang secara material langsung dapat dikonsumsi. Apabila harta bersama tersebut digunakan salah satu pihak, tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka tindakan hukum demikian tidak diperbolehkan.”Suami atau isteri tapa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindah harta bersama” (ps. 92 KHI). Hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat melakukan hal-hal yang berurusan dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tanpa adanya persetujuan tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan besar sekali. Oleh karena itu Kompilasi dalam pasal berikut, membicarakan pertanggungjawaban utang yang bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan keluarga.
Pasal 93 :
(1)   Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)   Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3)   Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4)   Bila harta suami tidak ada atau tidak mecukupi dibebankan kepada harta isteri.
Dalam kaitannya dengan perkawinan poligami, Kompilasi mengaturnya dalam pasal 94 :
(1)   Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)   Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebh dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan atau keempat tidak terjadi perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan gugat warisan di antara masing-masing keluarga dari isteri-isteri tersebut.
Dalam pasal 95 Kompilasi dibicarakan tentang tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti : judi, mabok, boros, dan lain-lain.
(1)   Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nho. 9 Tahun 1975 dan pasal 136 (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanp adanya permohonan gugat cerai, pabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti : judi, mabok, boros, dan sebagainya.
(2)   Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Mengenai pembagian harta bersama Kompilasi mengaturnya dalam pasal 96 dan pasal 97, sebagai berikut :
Pasal 96 :
(1)   Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

 


PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan :”Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77 ayat (1) berbunyi : Suami istri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.            (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
2.      Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37. Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur lebih rinci diantaranya terdapat dalam pasal 85, 86, 87, dan seterusnya sampai dengan pasal 97 tentang perihal harta benda dalam perkawinan.

 





DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003. 
Drs. H. Abdul Manan, S.H, S.IP., H.Hum. Drs. M. Fauzan, S.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta UI Press, Cet. V, 1986.


[1] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta UI Press, Cet. V, 1986, hlm. 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar