BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Khudri Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-Islami membagi
sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu :
1.
Pembentukan hukum Islam pada masa
hidupnya Nabi Muhammad Saw.
2.
Pembentukan hukum Islam pada masa
sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
3.
Pembentukan hukum pada masa
sahabat dan tabi’in yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir
dengan berakhirnya abad pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu.
4.
Pembentukan hukum pada masa fiqih
sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya
abad ketiga hijriyah.
5.
Pembentukan hukum pada masa yang
di dalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam,
dan munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya
Daulat Abbasiyah di Baghdad.
6.
Pembentukan hukum pada masa taklid
semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.[1]
Berdasarkan periode-periode tersebut diatas, maka
dapat dipahami bahwasanya periode awal pembentukan hukum Islam, artinya harus
melihat keberadaan tasyri’ pada masa Rasulullah Saw. masih hidup dan
kedudukan Alquran pada masa itu.
BAB
II
PROSES
AWAL PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM
A. Tasyri’ Pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul
yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah
berhala, sistem masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat
hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami banyak hambatan dan halangan yang
dilakukan oleh suku Quraisy pada saat itu. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang
menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut :
a.
Mereka tidak dapat membedakan
kenabian dan kekuasaan.
b.
Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan
persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
c.
Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
d. Taklid kepada nenek moyang yang sudah berakar pada bangsa Arab.
e. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang
rezeki.[2]
Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan
maupun syari’at Islam diperlukan adanya suatu proses yang bertahap.
Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang
merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan
masyarakatnya. Disamping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejad
mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di
kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum islam yang menggunakan
Alquran sebagai sumber atau dasarnya.
Alquran diturunkan
menjadi petunjuk dan pedoman manusia. Ayat demi ayat yang diterima oelh Rasulullah
Saw. Diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan
oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum
Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah dikenal sebagai periode penanaman aqidah dan
akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah Swt., kepada hari
akhir, kepada Malaikat, kepada Rasul, dan kepada qada dan qadar
dari Allah. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan
mengurangi timbangan dan menjauhi perilaku tercela. Kedua hal inilah yang
diutamakan Nabi Saw. Dalam dakwahnya.
Hijrahnya Nabi Saw. Ke Madinah merupakan periode yang kedua
dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penataan
dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat
yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual maupun
sosial. Adapun faktor yang menyebabkan proyek hukum, banyak dibicarakan dalam
periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar
akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan aspek-apsek lainya.
Ayat-ayat pembinaan hukum tersebut merupakan jawaban
peristiwa-peristiwa dalam masyarakat Islam. Peristiwa-peristiwa itu dikenal
dengan asbabun nuzul, kadang-kadang ayat-ayat juga sebagai
jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan oleh sebagian orang mukmin. Adapun
contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti :
1.
Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad
Ganawi adalah utusan Rasulullah Saw. Dari Madinah ke Makkah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamat
oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak
segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya
di melaporkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Dan turunlah hukum tentang
perkawinan antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu
juga sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[3]
2.
Turunnya ayat Alquran tentang
hukum larangan berperang pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan
Allah Swt. untuk
berperang.[4]
Adapun metode yang diterapkan pada masa pertumbuhan dan
pembinaan hukum pada periode Rasulullah Saw. adalah :
1.
Perubahan yang ditetapkan
dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat
istiadat yang telah berurat berakar dalam masyarakat. Salah satu contoh dari
hal ini adalah tentang permasalahan meminum khamar dan judi.[5]
Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian (mafsadat) yang lebih
besar dari pada keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati
shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai
perbuatan syaitan dan mesti dijauhi.
2.
Bersifat tegas (revolusioner)
dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.[6]
3.
Metode yang diterapkan dalam
penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).[7]
4.
Penyederhanaan aturan-aturan atau
untuk keringanan beban manusia.[8]
Inilah metode yang diterapkan Rasulullah Saw. dan juga bersandarkan tuntunan
Allah Swt. dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam pada masa Nabi Saw.
Terhadap umatnya.
B. Kedudukan Alquran
Alquran adalah kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi
Saw. dengan perantaraan Jibrilas.,
secara bertahap, diriwayatkan secara mutawatir melalui para sahabat Nabi Saw.
sebagai sumber utama agama Islam.[9]
Sejarah pemahaman terhadap Alquran dimulai sejak zaman
Rasulullah Saw., ketika menyampaikan dakwahnya kepada para sahabat. Alquran
yang diturunkan dalam bahasa Arab dengan mudah dapat dipahami oleh sahabat Nabi
Saw. Ketika ditemui hal-hal yang tidak dipahami, maka Nabi Saw., tampil sebagai
pentafsir Alquran.[10]
Pada umumnya para ulama dalam memberikan definisi Alquran
tidak banyak mempunyai perbedaan, Alquran difahami sebagai :
“Alquran adalah kalam Allah swt., yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw., dengan bahasa Arab yang sampai kepada kita dengan cara
mutawatir, ditulis dalam satu mushaf, dipandang sebagai satu ibadah membacanya,
sebagai mukjizat walupun sebuah surat pendek darinya, dumulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
Wahyu adalah isyarat yang sampai dengan cepat baik melalui
suara yang tersembunyi maupun dengan bunyi sesuatu benda dalam pengertian umum.
Lebih spesifik lagi bahwa wahyu adalah perkataasn Allah Swt. kepada para
Nabi-Nya baik secara langsung atau dengan perantara, agar diteruskan kepada
umat untuk dijadikan pegangan hidup.[11]
Alquran diajarkan Nabi Saw. kepada sahabat-sahabatnya
langsung dari ucapannya sendiri sampai akhir penerimaan wahyu dari Allah Swt.
Rasulullah Saw. sendiri menjadi seorang penghafal utama, saat menerima wahyu
dari Jibril as., langsung seketika itu Nabi Saw. Juga yang menafsirkannya.
Telah disinggung sebelumnya bahwa Alquran merupakan sumber
utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqaha dan umat Islam menyatakan dan
mengakui akan hal ini. Untuk itu Zakaria al-Bisri mengatakan : Alquran adalah
pegangan dan sandaran utama untuk mengetahui dalil-dalil dan hukum syara’
karena itu Alquran merupakan aturan-aturan asasi, sumber dari segala sumber dan
pokok dari segala pokok.[12]
Kemudian Safi Hasan Abu Thalib, menegaskan bahwa : Alquran
dipandang sebagai sumber utama hukum-hukum syari’at. Adapun
sumber-sumber lainnya adalah sumber yang
menyertai dan bahkan cabang dari Alquran. Dari sini jelas bahwa Alquran
menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh berpindah-pindah
kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Pembinaan ataupun kewenangan membuat hukum pada masa kenabian
adalah berada ditangan Nabi Saw. semata berdasarkan petunjuk Ilahi. Kemudian
hukum-hukum yang ditetapkan melalui Alquran berdasarkan kasus-kasus tertentu
yang melatarbelakanginya. Dengan adanya masa pertumbuhan dan pembentukan hukum
Islam pada masa awal (masa Nabi Saw.) telah memberi nilai dan dampak yang
begitu luar biasa terhadap proses pembinaan hukum Islam masa selanjutnya.
C. Ijtihad Di Awal Islam
Pengertian ijtihad atau kata al-ijtihad, berasal dari
kata al-jahd dan al-juhd, secara etimologi berarti al-thaqah
(tenaga, kuasa, dan daya), sementara al-ijtihad dan al-tahajud
berarti “penumpahan segala kesempatan dan tenaga).[13]
Jadi secara istilah meluangkan kesempatan dalam usaha mengetahui
ketentuan-ketentuan hukum syari’at. Tegasnya mencurahkan hikmah dan kesungguhan
untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumber yang pokok.[14]
Berdasarkan praktek para sahabat. Pengertian ijtihad adalah
penelitian dan pemikiran untuk mendapat sesuatu yang terdekat dengan kitab
Allah dan Sunnah Nabi Saw., baik melalui suatu nash, yang disebut “qiya”,
maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut “maslahat”.
Sedangkan menurut ilmu ushul fiqh, kata “ijtihad” identik
dengan kata “istinbaht”. Istinbhat berasal dari kata “nabth” (air
yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali). Dengan demikian menurut
bahasa, arti Istinbath adalah “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyiannya”. Jadi, arti ijtihad atau istinbaht adalah “ menggali
hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Alquran atau Sunnah”[15]
Dengan demikian, hukum syara’ yang belum ditegaskan secara
langsung oleh Alquran atau sunnah, maka hukum itu harus digali melaui ijtihad.
Karena itu, Islam mengabsahkannya, agar hukum Islam berkembang dan dinamis.
Alquran diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat
dalam persoalan yang timbul pada masa Rasulullah Saw. tentu berbeda dengan yang
dihadapi generasi berikutnya. Karena Alquran hanya memuat sebagian hukum-hukum
rinci, dan sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah
Saw. maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang terkait
dengan muamalah, maka diperlukan ijtihad.
Ijtihad sesungguhnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah
Saw. Banyak sahabat berijtihad tentang berbagai persoalan, ketika mereka bersda
pada kondisi terpaksa atau disebabkan oleh jarak yang terlalu jauh antara
mereka dengan Nabi. Setelah Nabi Saw. wafat, keperluan ijtihad semakin meningkat
dan segala persoalan diselesaikan dengan mengambil inspirasi dan menangkap
pesan-pesan universal dari Alquran dan Sunnah.
Hukum Islam dapat dipahami melalui proses penalaran atau
ijtihad. Dalam perkembangannya masing-masing periode memiliki corak dan
dinamika tertentu, sehingga hukum Islam beserta konsep-konsepnya akan semakin
kokoh dan mantap dalam mengikuti perkembangan zaman dan evolusi manusia.[16]
Alquran dan Sunnah merupakan perwujudan syaria’at Islam,
selain mengandung petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pemahaman yang benar
tentang Allah Swt. dan alam gaib, serta untuk mengembangkan potensi manusiawi
atas dasar pemahaman keimanan untuk mewujudkan manusia yang saleh. Juga
merupakan sumber hukum tertinggi dalam syari’at Islam. Lebih dari itu, di dalam
Alquran dan Sunnah terdapat materi-materi hukum, terutama yang mengatur masalah
ibadah dan pokok-pokok permasalahan mu’amalat. Sebagian materi hukum dalam
Alquran dan Sunnah berbentuk diktum yang otentik (tidak mengandung pengertian
lain), atau sesudah diberi interpretasi otentik dalam Sunaah sendiri. Materi
hukum seperti ini disebut qath’iyah dan tidak membutuhkan ijtihad.
Ruang gerak dan jangkauan ijithad, yaitu yang tidak mempunyai
interpretasi otentik dari sunnah yang disebut zhanniyat. Dalam hal ini
menimbulkan beberapa interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih,
menampung terjadinya perbedan pendapat dikalangan para ahli/mijtahid. Dengan
demikian, menimbulkan adanya variasi. Dalam pelaksanaan sesuatu ketentuan hukum
yang tidak qath’iyat. Di sinilah letak kemudahan penerapan syari’at
Islam itu sesuai dengan situasi kondisinya, baik bersifat perseorangan maupun
masyarakat, yang senantiasa berubah dan berkembang.
Hukum Islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi yang
lain mengarahkan kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat. Penerapan hukum
Islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam arti masa maupun dalam
arti tempat, membutuhkan hukum yang fleksibel. Hal ini tampaknya disadari tidak
hanya ulama modernis, tetapi juga oleh ulama masa lalu. Karena tujuan hukum
Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan
jalan mengambil mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah yang mudarat
yaitu yang tidak berguna bagi kehidupan.
Dengan kata lain penerapn hukum adalah kemaslahatan hidup,
baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Terpenuhinya kebutuhan
masyarakat. Artinya, fungsi hukum adalah memberikan jawaban terhadap
problematika sosial.
Apa yang dikatakan Ibn al-Qayyim al-Jawjiyyah dalam sebuah
kaidah, sebagaimana dikutip oelh A. Djauli, bahwa : “Hukum Islam itu berubah
karena perubahan waktu, keadaan, adat dan niat.”[17]
Pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, setiap masalah
hukum yang dihadapinya, beliau mencari ketetapan hukum dalam Alquran, bila
tidak dijumpai dalam Alquran, kemudian
dalam Sunnah Rasulullah Saw., bila tidak ditemukan juga maka beliau
konpirmasikan dan berkonsultasi dengan sesama sahabat untuk menetapkan
hukumnya.[18]
Dalam dunia hukum, dikenal penafsiran nash berdasarkan maqasid al-tasyi’. Yakni
penafsiran yang tidak terlalu terikat pada tekstual, melainkan dengan pemahaman
akan ruh nash itu sendiri demi kemaslahatan manusia. Allah berfirman
dalam surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya :
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu?[19]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa perubahan hukum karena
perubahan kondisi dan situasi itu dibenarkan oelh Islam. Tidak saja pada masa
Nabi Saw., tetapi juga masa sepeninggalnya.
Semua yang dipahami oleh sahabat nabi Saw. dalam
menyelesaikan masalah kepada umat baik terkait dengan pemerintahan maupun hukum
syari’at bertujuan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan yang mudharat
engan tujuan syari’ah Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Tahap awal dari orientasi Islam
adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar
bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Dan merupakan awal pembentukan hukum
islam yang menggunakan Alquran sebagai sumber atau dasarnya.
2.
Alquran merupakan sumber utama
dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqaha dan umat Islam menyatakan dan
mengakui akan hal ini. Kemudian Safi Hasan Abu Thalib, menegaskan bahwa :
Alquran dipandang sebagai sumber utama hukum-hukum syari’at. Adapun
sumber-sumber lainnya adalah sumber yang
menyertai dan bahkan cabang dari Alquran. Dari sini jelas bahwa Alquran
menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh berpindah-pindah
kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan.
3.
Ijtihad telah berlangsung sejak
masa Rasulullah Saw. Banyak sahabat berijtihad tentang berbagai persoalan,
ketika mereka bersda pada kondisi terpaksa atau disebabkan oleh jarak yang
terlalu jauh antara mereka dengan Nabi. Setelah Nabi Saw. wafat, keperluan
ijtihad semakin meningkat dan segala persoalan diselesaikan dengan mengambil
inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal dari Alquran dan Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
Terjemah Departemen Agama
Al-Qattan, Manna’ Mabahits Fi Ulum Alquran, (Riyadh al-‘Asr Al-Hadist, t.t.).
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan Fi Ulum Quran, Jld.I, (Mesir:
Matba’ah Al Tijariyah Al- Kubra,t.t).
Al-Bisri, Zakaria, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, (Kairo: Dar
Al-Ittihad Al-Arabi Littaba’ah, 1975).
Al-Sayis, Muhammad Ali, Nasy’at Al-Fiqhi li Ijtihad wa-Atwaruhu, Cet.I, Terj.M.Ali Hasan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Bek, Khudri, Tarikh Tasry’i al-Islam, alih bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia:
Darul Ikhya, t.t).
Djauli, A., et.al. Hukuam Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet.I,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991).
Hosen, Ibrahim, et.al. Ijtihad Dalam Sorotan, Cet.IV, (Bandung:
Mizan, 1996).
Ibn Muharran, Jamaluddin Muhammad, Lisan al-Arab, Juz III, (Mesir:
Dar al- Mishirriyyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.t.).
Khallaf, Abdul Wahhab, Khulashah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Trj.Wajidi
Sayadi, Cet.I, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2001).
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyr’ fi al-Islam, Terj.Ahmad
Sudjono, Cet. I (Bandung: al-Ma’arif, 1981).
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1983).
[1] Khudri Bek, Tarikh Tasry’i
al-Islam, alih bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia: Darul Ikhya, t.t), h.4.
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), h.87-90.
[3]Q.S. Al-Baqarah/2:221.
[4]Q.S. Al-Baqarah/2:217.
[5]Q.S. Al-Baqarah/2:219.
[6]Q.S. Al-Kafirun/109:221.
[7]Q.S. Al-Baqarah/2:185.
[8]Q.S. Al-Maidah/5:101-102.
[9] Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fi
Ulum Alquran, (Riyadh
al-‘Asr Al-Hadist, t.t.), h.9.
[10] Ibid
[11] Jalaludin al-Suyuti, Al-Itqan Fi
Ulum Quran, Jld.I, (Mesir: Matba’ah Al Tijariyah Al- Kubra,t.t), h.10.
[12] Zakaria Al-Bisri, Masadiri
Al-Ahkam Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Ittihad Al-Arabi Littaba’ah, 1975),
h.16.
[13] Jamaluddin Muhammad Ibn Muharran, Lisan
al-Arab, Juz III, (Mesir: Dar al- Mishirriyyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah,
t.t.) h.107-109.
[14] Sobhi Mahmassani, Falsafah
al-Tasyr’ fi al-Islam, Terj.Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: al-Ma’arif,
1981), h.143.
[15] Ibrahim Hosen, et.al. Ijtihad
Dalam Sorotan, Cet.IV, (Bandung: Mizan, 1996), h.13-25.
[16] Muhammad Ali Al-Sayis, Nasy’at
Al-Fiqhi li Ijtihad wa-Atwaruhu, Cet.I,
Terj.M.Ali Hasan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.20.
[17] A.Djauli,et.al. Hukuam Islam di Indonesia
Pemikiran dan Praktek, Cet.I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h.256.
[18] Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah
Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Trj.Wajidi Sayadi, Cet.I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001),h.55-56.
[19] Q.S. Al-Baqarah/2: 106.
sya suka dengan artikelnya..manfaat banget buat bikin tugas kuliah....terima kasih sebelumnya
BalasHapus