Senin, 10 Oktober 2011

PROSES AWAL PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Khudri Bek, dalam Tarikh Tasyri’ al-Islami membagi sejarah pembentukan hukum Islam kepada enam periode yaitu :
1.      Pembentukan hukum Islam pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw.
2.      Pembentukan hukum Islam pada masa sahabat besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Khulafaur Rasyidin.
3.      Pembentukan hukum pada masa sahabat dan tabi’in yang sejajar dengan mereka kebaikannya. Masa ini berakhir dengan berakhirnya abad pertama hijriyah atau sedikit sesudah itu.
4.      Pembentukan hukum pada masa fiqih sudah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Periode ini berakhir dengan berakhirnya abad ketiga hijriyah.
5.      Pembentukan hukum pada masa yang di dalamnya telah dimasukkannya masalah-masalah yang berasal dari para Imam, dan munculnya karangan-karangan besar. Masa ini berakhir dengan berakhirnya Daulat Abbasiyah di Baghdad.
6.      Pembentukan hukum pada masa taklid semata-mata. Masanya sesudah periode kelima sampai sekarang.[1]
Berdasarkan periode-periode tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwasanya periode awal pembentukan hukum Islam, artinya harus melihat keberadaan tasyri’ pada masa Rasulullah Saw. masih hidup dan kedudukan Alquran pada masa itu.

 
BAB II
PROSES AWAL PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

A.  Tasyri’ Pada Masa Rasulullah
Islam datang kepada umat manusia oleh seorang Rasul yang diutus untuk memperbaiki kondisi bangsa Arab yang pada masa itu menyembah berhala, sistem masyarakat yang kacau balau. Pada awalnya Rasulullah sangat hati-hati dalam dakwahnya, beliau mengalami banyak hambatan dan halangan yang dilakukan oleh suku Quraisy pada saat itu. Menurut Ahmad Syalabi, ada lima faktor yang menyebabkan orang Quraisy termotivasi untuk menentang seruan Islam tersebut :
a.       Mereka tidak dapat membedakan kenabian dan kekuasaan.
b.      Nabi Muhammad Saw. Mendakwahkan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya.
c.       Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
d.      Taklid kepada nenek moyang yang sudah berakar pada bangsa Arab.
e.       Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.[2]
Inilah yang mengakibatkan dalam penerapan peraturan-peraturan maupun syari’at Islam diperlukan adanya suatu proses yang bertahap.
Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Disamping itu, penghapusan sedikit demi sedikit moral bejad mereka, menghapus kebiasaan-kebiasaan jelek yang telah mendarah daging di kalangan mereka. Ini merupakan awal pembentukan hukum islam yang menggunakan Alquran sebagai sumber atau dasarnya.
 Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman manusia. Ayat demi ayat yang diterima oelh Rasulullah Saw. Diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin. Pada masa kenabian, terdapat dua periode pembinaan hukum Islam, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah  dikenal sebagai periode penanaman aqidah dan akhlak. Aqidah berbicara tentang kepercayaan kepada Allah Swt., kepada hari akhir, kepada Malaikat, kepada Rasul, dan kepada qada dan qadar dari Allah. Sementara itu akhlak berbicara tentang larangan membunuh, larangan mengurangi timbangan dan menjauhi perilaku tercela. Kedua hal inilah yang diutamakan Nabi Saw. Dalam dakwahnya.
Hijrahnya Nabi Saw. Ke Madinah merupakan periode yang kedua dalam pembinaan hukum Islam. Periode Madinah dikenal sebagai periode penataan dan pemapanan masyarakat. Oleh karena itu di periode Madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum mulai diturunkan baik yang bersifat ritual maupun sosial. Adapun faktor yang menyebabkan proyek hukum, banyak dibicarakan dalam periode Madinah yaitu karena dalam periode ini orang Islam sudah memiliki dasar akhlak dan aqidah yang kuat sebagai landasan aspek-apsek lainya.
Ayat-ayat pembinaan hukum tersebut merupakan jawaban peristiwa-peristiwa dalam masyarakat Islam. Peristiwa-peristiwa itu dikenal dengan asbabun nuzul, kadang-kadang ayat-ayat juga sebagai jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan oleh sebagian orang mukmin. Adapun contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti :
1.      Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi adalah utusan Rasulullah Saw. Dari Madinah ke Makkah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamat oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya di melaporkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Dan turunlah hukum tentang perkawinan antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[3]
2.      Turunnya ayat Alquran tentang hukum larangan berperang pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan Allah Swt. untuk berperang.[4]
Adapun metode yang diterapkan pada masa pertumbuhan dan pembinaan hukum pada periode Rasulullah Saw. adalah :
1.      Perubahan yang ditetapkan dilakukan secara revolusi ataupun bertahap (tadwin) terhadap adat istiadat yang telah berurat berakar dalam masyarakat. Salah satu contoh dari hal ini adalah tentang permasalahan meminum khamar dan judi.[5] Pada tahap pertama menjelaskan tentang kerugian (mafsadat) yang lebih besar dari pada keuntungannya. Pada tahap berikutnya tidak boleh mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk dan pada akhirnya dinyatakan sebagai perbuatan syaitan dan mesti dijauhi.
2.      Bersifat tegas (revolusioner) dalam bidang-bidang tertentu terutama dalam ibadah maupun aqidah.[6]
3.      Metode yang diterapkan dalam penetapan hukum tidak berpandangan picik (berwawasan luas).[7]
4.      Penyederhanaan aturan-aturan atau untuk keringanan beban manusia.[8] Inilah metode yang diterapkan Rasulullah Saw. dan juga bersandarkan tuntunan Allah Swt. dalam menerapkan ataupun membina hukum Islam pada masa Nabi Saw. Terhadap umatnya.

B.  Kedudukan Alquran
Alquran adalah kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Saw. dengan  perantaraan Jibrilas., secara bertahap, diriwayatkan secara mutawatir melalui para sahabat Nabi Saw. sebagai sumber utama agama Islam.[9]
Sejarah pemahaman terhadap Alquran dimulai sejak zaman Rasulullah Saw., ketika menyampaikan dakwahnya kepada para sahabat. Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab dengan mudah dapat dipahami oleh sahabat Nabi Saw. Ketika ditemui hal-hal yang tidak dipahami, maka Nabi Saw., tampil sebagai pentafsir Alquran.[10]
Pada umumnya para ulama dalam memberikan definisi Alquran tidak banyak mempunyai perbedaan, Alquran difahami sebagai :
Alquran adalah kalam Allah swt., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan bahasa Arab yang sampai kepada kita dengan cara mutawatir, ditulis dalam satu mushaf, dipandang sebagai satu ibadah membacanya, sebagai mukjizat walupun sebuah surat pendek darinya, dumulai dari surat     Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”
Wahyu adalah isyarat yang sampai dengan cepat baik melalui suara yang tersembunyi maupun dengan bunyi sesuatu benda dalam pengertian umum. Lebih spesifik lagi bahwa wahyu adalah perkataasn Allah Swt. kepada para Nabi-Nya baik secara langsung atau dengan perantara, agar diteruskan kepada umat untuk dijadikan pegangan hidup.[11]
Alquran diajarkan Nabi Saw. kepada sahabat-sahabatnya langsung dari ucapannya sendiri sampai akhir penerimaan wahyu dari Allah Swt. Rasulullah Saw. sendiri menjadi seorang penghafal utama, saat menerima wahyu dari Jibril as., langsung seketika itu Nabi Saw. Juga yang menafsirkannya.
Telah disinggung sebelumnya bahwa Alquran merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqaha dan umat Islam menyatakan dan mengakui akan hal ini. Untuk itu Zakaria al-Bisri mengatakan : Alquran adalah pegangan dan sandaran utama untuk mengetahui dalil-dalil dan hukum syara’ karena itu Alquran merupakan aturan-aturan asasi, sumber dari segala sumber dan pokok dari segala pokok.[12]
Kemudian Safi Hasan Abu Thalib, menegaskan bahwa : Alquran dipandang sebagai sumber utama hukum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber  lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari Alquran. Dari sini jelas bahwa Alquran menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh berpindah-pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya.
Pembinaan ataupun kewenangan membuat hukum pada masa kenabian adalah berada ditangan Nabi Saw. semata berdasarkan petunjuk Ilahi. Kemudian hukum-hukum yang ditetapkan melalui Alquran berdasarkan kasus-kasus tertentu yang melatarbelakanginya. Dengan adanya masa pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam pada masa awal (masa Nabi Saw.) telah memberi nilai dan dampak yang begitu luar biasa terhadap proses pembinaan hukum Islam masa selanjutnya.  

C.  Ijtihad Di Awal Islam
Pengertian ijtihad atau kata al-ijtihad, berasal dari kata al-jahd dan al-juhd, secara etimologi berarti al-thaqah (tenaga, kuasa, dan daya), sementara al-ijtihad dan al-tahajud berarti “penumpahan segala kesempatan dan tenaga).[13] Jadi secara istilah meluangkan kesempatan dalam usaha mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syari’at. Tegasnya mencurahkan hikmah dan kesungguhan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumber yang pokok.[14]
Berdasarkan praktek para sahabat. Pengertian ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapat sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw., baik melalui suatu nash, yang disebut “qiya”, maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut “maslahat”. Sedangkan menurut ilmu ushul fiqh, kata “ijtihad” identik dengan kata “istinbaht”. Istinbhat berasal dari kata “nabth” (air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali). Dengan demikian menurut bahasa, arti Istinbath adalah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”. Jadi, arti ijtihad atau istinbaht adalah “ menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash  Alquran atau Sunnah”[15]
Dengan demikian, hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh Alquran atau sunnah, maka hukum itu harus digali melaui ijtihad. Karena itu, Islam mengabsahkannya, agar hukum Islam berkembang dan dinamis.
Alquran diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat dalam persoalan yang timbul pada masa Rasulullah Saw. tentu berbeda dengan yang dihadapi generasi berikutnya. Karena Alquran hanya memuat sebagian hukum-hukum rinci, dan sunnah terbatas pada kasus-kasus yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang terkait dengan muamalah, maka diperlukan ijtihad.
Ijtihad sesungguhnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah Saw. Banyak sahabat berijtihad tentang berbagai persoalan, ketika mereka bersda pada kondisi terpaksa atau disebabkan oleh jarak yang terlalu jauh antara mereka dengan Nabi. Setelah Nabi Saw. wafat, keperluan ijtihad semakin meningkat dan segala persoalan diselesaikan dengan mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal dari Alquran dan Sunnah.
Hukum Islam dapat dipahami melalui proses penalaran atau ijtihad. Dalam perkembangannya masing-masing periode memiliki corak dan dinamika tertentu, sehingga hukum Islam beserta konsep-konsepnya akan semakin kokoh dan mantap dalam mengikuti perkembangan zaman dan evolusi manusia.[16]
Alquran dan Sunnah merupakan perwujudan syaria’at Islam, selain mengandung petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang Allah Swt. dan alam gaib, serta untuk mengembangkan potensi manusiawi atas dasar pemahaman keimanan untuk mewujudkan manusia yang saleh. Juga merupakan sumber hukum tertinggi dalam syari’at Islam. Lebih dari itu, di dalam Alquran dan Sunnah terdapat materi-materi hukum, terutama yang mengatur masalah ibadah dan pokok-pokok permasalahan mu’amalat. Sebagian materi hukum dalam Alquran dan Sunnah berbentuk diktum yang otentik (tidak mengandung pengertian lain), atau sesudah diberi interpretasi otentik dalam Sunaah sendiri. Materi hukum seperti ini disebut qath’iyah dan tidak membutuhkan ijtihad.
Ruang gerak dan jangkauan ijithad, yaitu yang tidak mempunyai interpretasi otentik dari sunnah yang disebut zhanniyat. Dalam hal ini menimbulkan beberapa interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih, menampung terjadinya perbedan pendapat dikalangan para ahli/mijtahid. Dengan demikian, menimbulkan adanya variasi. Dalam pelaksanaan sesuatu ketentuan hukum yang tidak qath’iyat. Di sinilah letak kemudahan penerapan syari’at Islam itu sesuai dengan situasi kondisinya, baik bersifat perseorangan maupun masyarakat, yang senantiasa berubah dan berkembang.
Hukum Islam mengakui kehormatan manusia, dan di sisi yang lain mengarahkan kepada perwujudan kemaslahatan masyarakat. Penerapan hukum Islam terhadap situasi yang beraneka ragam, baik dalam arti masa maupun dalam arti tempat, membutuhkan hukum yang fleksibel. Hal ini tampaknya disadari tidak hanya ulama modernis, tetapi juga oleh ulama masa lalu. Karena tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi kehidupan.
Dengan kata lain penerapn hukum adalah kemaslahatan hidup, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Artinya, fungsi hukum adalah memberikan jawaban terhadap problematika sosial.
Apa yang dikatakan Ibn al-Qayyim al-Jawjiyyah dalam sebuah kaidah, sebagaimana dikutip oelh A. Djauli, bahwa : “Hukum Islam itu berubah karena perubahan waktu, keadaan, adat dan niat.”[17]
Pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, setiap masalah hukum yang dihadapinya, beliau mencari ketetapan hukum dalam Alquran, bila tidak dijumpai dalam Alquran, kemudian  dalam Sunnah Rasulullah Saw., bila tidak ditemukan juga maka beliau konpirmasikan dan berkonsultasi dengan sesama sahabat untuk menetapkan hukumnya.[18]
Dalam dunia hukum, dikenal penafsiran nash  berdasarkan maqasid al-tasyi’. Yakni penafsiran yang tidak terlalu terikat pada tekstual, melainkan dengan pemahaman akan ruh nash itu sendiri demi kemaslahatan manusia. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 106 yang artinya :
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?[19]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa perubahan hukum karena perubahan kondisi dan situasi itu dibenarkan oelh Islam. Tidak saja pada masa Nabi Saw., tetapi juga masa sepeninggalnya.
Semua yang dipahami oleh sahabat nabi Saw. dalam menyelesaikan masalah kepada umat baik terkait dengan pemerintahan maupun hukum syari’at bertujuan untuk mendatangkan maslahat dan menjauhkan yang mudharat engan tujuan syari’ah Islam.

 

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tahap awal dari orientasi Islam adalah memenuhi aqidah yang merupakan landasan utama yang akan menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan masyarakatnya. Dan merupakan awal pembentukan hukum islam yang menggunakan Alquran sebagai sumber atau dasarnya.
2.      Alquran merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqaha dan umat Islam menyatakan dan mengakui akan hal ini. Kemudian Safi Hasan Abu Thalib, menegaskan bahwa : Alquran dipandang sebagai sumber utama hukum-hukum syari’at. Adapun sumber-sumber  lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari Alquran. Dari sini jelas bahwa Alquran menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh berpindah-pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan.
3.      Ijtihad telah berlangsung sejak masa Rasulullah Saw. Banyak sahabat berijtihad tentang berbagai persoalan, ketika mereka bersda pada kondisi terpaksa atau disebabkan oleh jarak yang terlalu jauh antara mereka dengan Nabi. Setelah Nabi Saw. wafat, keperluan ijtihad semakin meningkat dan segala persoalan diselesaikan dengan mengambil inspirasi dan menangkap pesan-pesan universal dari Alquran dan Sunnah.

 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Terjemah Departemen Agama
Al-Qattan, Manna’ Mabahits Fi Ulum Alquran, (Riyadh al-‘Asr Al-Hadist, t.t.).
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan Fi Ulum Quran, Jld.I, (Mesir: Matba’ah Al Tijariyah Al- Kubra,t.t).
Al-Bisri, Zakaria, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Ittihad Al-Arabi Littaba’ah, 1975).
Al-Sayis, Muhammad Ali, Nasy’at Al-Fiqhi li Ijtihad  wa-Atwaruhu, Cet.I, Terj.M.Ali Hasan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Bek, Khudri, Tarikh Tasry’i al-Islam, alih bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia: Darul Ikhya, t.t).
Djauli, A., et.al. Hukuam Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet.I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991).
Hosen, Ibrahim, et.al. Ijtihad Dalam Sorotan, Cet.IV, (Bandung: Mizan, 1996).
Ibn Muharran, Jamaluddin Muhammad, Lisan al-Arab, Juz III, (Mesir: Dar al- Mishirriyyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.t.).
Khallaf, Abdul Wahhab, Khulashah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Trj.Wajidi Sayadi, Cet.I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001).
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyr’ fi al-Islam, Terj.Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: al-Ma’arif, 1981).
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983).






[1] Khudri Bek, Tarikh Tasry’i al-Islam, alih bahasa Mhd. Zuhri, (Indonesia: Darul Ikhya, t.t), h.4.
[2] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), h.87-90.
[3]Q.S. Al-Baqarah/2:221.
[4]Q.S. Al-Baqarah/2:217.
[5]Q.S. Al-Baqarah/2:219.
[6]Q.S. Al-Kafirun/109:221.
[7]Q.S. Al-Baqarah/2:185.
[8]Q.S. Al-Maidah/5:101-102.
[9] Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fi Ulum Alquran, (Riyadh al-‘Asr Al-Hadist,      t.t.), h.9.
[10] Ibid
[11] Jalaludin al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulum Quran, Jld.I, (Mesir: Matba’ah Al Tijariyah Al- Kubra,t.t), h.10.
[12] Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Ittihad Al-Arabi Littaba’ah, 1975), h.16.
[13] Jamaluddin Muhammad Ibn Muharran, Lisan al-Arab, Juz III, (Mesir: Dar al- Mishirriyyah al-Ta’lif wa al-Tarjamah, t.t.) h.107-109.
[14] Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyr’ fi al-Islam, Terj.Ahmad Sudjono, Cet. I (Bandung: al-Ma’arif, 1981), h.143.
[15] Ibrahim Hosen, et.al. Ijtihad Dalam Sorotan, Cet.IV, (Bandung: Mizan, 1996),     h.13-25.
[16] Muhammad Ali Al-Sayis, Nasy’at Al-Fiqhi li Ijtihad  wa-Atwaruhu, Cet.I, Terj.M.Ali Hasan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.20.
[17] A.Djauli,et.al. Hukuam Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet.I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h.256.
[18] Abdul Wahhab Khallaf, Khulashah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Trj.Wajidi Sayadi, Cet.I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2001),h.55-56.
[19] Q.S. Al-Baqarah/2: 106.

1 komentar:

  1. sya suka dengan artikelnya..manfaat banget buat bikin tugas kuliah....terima kasih sebelumnya

    BalasHapus